Oleh: Novie An-Nuril Khiyar
Embun. Aku memanggilnya embun. Titik – titik air yg jatuh dari langit di
malam hari dan berada di atas dedaunan hijau yang membuatku damai
berada di taman ini, seperti damai nya hatiku saat berada disamping
wanita yang sangat aku kagumi, embun.
“ngapain diam di situ, ayo sini rei…” teriakan embun yang memecahkan
lamunanku. Aku lalu menghampirinya, dan tersenyum manis dihadapan nya.
“gimana kabarmu embun?”
“seperti yang kamu lihat, tak ada kemajuan. Obat hanyalah media yang
bertujuan memperparah keadaanku. Dan lihat saja saat ini, aku masih
terbaring lemah dirumah sakit kan?”, Keluhnya.
“obat bukan memperparah keadaanmu, tapi mencegah rasa sakitnya. Embun,, kamu harus optimis ya”.
“hei rei, aku selalu optimis. Kamu nya aja yang cengeng. Kalo jenguk
aku pasti kamu mau nangis,, iya kan? Udahlah rei,,, aku udah terima
semua yang di takdirkan Tuhan,, dan saatnya aku untuk menjalaninya, kamu
jgn khawatir, aku baik-baik aja kok”. Benar kata embun, aku selalu
ingin menangis ketika melihat keadaannya. Lelaki setegar apapun, pasti
akan sedih melihat keadaannya, termasuk aku.
***
Sudah 2 minggu tak kutemui senyum embun di sekolah. Sangat sepi yang aku
rasakan. Orang yang aku cintai sedang bertaruh nyawa melawan kanker
otak yang telah merusak sebagian hidupnya. Apa? Cinta? Apakah benar aku
mencintainya??? Entahlah,, aku hanya merasakan sakit di saat melihat dia
seperti ini. ya Tuhan, izinkan aku menggantikan posisinya. Aku tak
ingin melihat wanita yang aku sayangi terbaring lemah di sana. Tolong
izinkan aku.
Seperti biasa, aku menyempatkan diri setelah pulang sekolah untuk pergi menjenguk embun di rumah sakit.
“hai embun,, bagaimana kabarmu?”
“sudah merasa lebih baik di bandingkan hari kemarin. Gimana keadaan sekolah kita?”
“baik juga. Cuma… ada sedikit keganjalan.”
“keganjalan apa rei?”
“karena di sana tak kutemukan senyummu embun….”
“ada ada aja kamu rei,,, hahaha. O iya, kata dokter, besok aku udah di
izinin pulang lho. Aku senang banget. Kamu bisa kan jemput aku di sini”.
“apa? Serius?” tanyaku kaget dan senang juga.
“sejak kapan aku bisa bohong sama kamu. Aku serius reivan algibran. Hehehhe”.
“gak perlu sebut nama lengkapku embun azzula,, aku percaya kok”. Senang sekali bisa melihat senyum dan tawamu embun,,, bathinku.
***
Waktu terasa cepat berlalu, karena sekarang aku sudah berada tepat di
depan pintu kamar embun. Aku mengetuknya dan…” pagi embun,,”
“pagi juga reivan,, gimana, kamu dah siapkan antar aku kemanapun aku mau…?”
“siap tuan putri,, aku selalu siap mengantarmu kemanapun engkau mau. Heheheh”
“ok,, sekarang aku pengen ke taman. Tempat kita pertama kali bertemu rei,, kamu bisa antar aku ke sana kan?”.
“siip, berangkat”.
Taman ini menjadi tempat favorit kami. Sedih, suka, marah akan kami
lontarkan di tempat ini. Tempat yang penuh dengan bunga-bunga yang kami
tanam dari nol. Ya, taman ini karya kami. Taman yg terletak tepat di
belakang gedung sekolah. 1 petak tanah yg tak pernah tersentuh oleh
tangan manusia, ntah apa alasan mereka. Tanah yg tandus, bunga yg layu
telah kami sulap menjadi taman cinta yang begitu indah, yang di tumbuhi
bunga2 kesukaan kami. Sejak embun di rawat di rumah sakit, aku tak
pernah mengunjungi taman ini, walaupun dekat dengan sekolahku.
“rei, kenapa semua bunga di sini layu,, apakah tak pernah kamu rawat?”.
Tanyanya. Apa yang harus aku jawab,, aku tau, dia pasti marah.
“mereka layu karena tak ada embun di sini”. jawabku seadanya.
“embun? Bukannya tiap pagi selalu ada embun yg membasahinya?”
“tak ada yg lebih berarti selain embun azzula bagi tanaman ini, termasuk aku”. Jelasku yg membuat dia terdiam sesaat.
“maksud kamu?”, dia menatapku dalam.
“tak ada,, mereka cuma butuh embun azzula yg merawatnya, bukan embun
biasa dan aku. Mereka kesepian, karena sudah 2 minggu tak melihat senyum
dan tawamu embun”.
“ya, aku menyadarinya itu. Sahabat,,, maafin embun ya,,, maaf selama ini
embun gak bisa merawat sahabat serutin kemarin. Itu karena kesehatan
embun yg semakin berkurang. Dulu embun bisa berdiri sendiri, sekarang
embun harus menggunakan tongkat, kursi roda dan bahkan teman. Teman
seperti rei, yg bisa memapah embun. Thanks y rei..”
“eh,, ii iya, iya embun, sama sama.”
Sudah seharian kami di sini,, tanpa di sadari embun terlelap di
pangkuanku. Menetes airmataku ketika melihat semua perubahan fisik yg
terjadi padanya. Wajahnya yg pucat, tubuhnya yg semakin kurus, dan
rambutnya yg semakin menipis, membuat aku kasihan. Kenapa harus embun yg
mengalaminya? Tapi aku juga salut, tak pernah ada airmata di wajahnya.
Dia sangat menghargai cobaan yg diberikan Tuhan kepadanya, dia selalu
tersenyum, walaupun sebenarnya aku tau, ada kesedihan dibalik senyum
itu.
“rei…” desahnya
“ia embun. Kamu dah bangun ya? Kita pulang sekarang yuk,,, “ ajakku ketika dia sadar dari mimpinya.
“aku mau di sini terus rei,, kamu mau kan nemenin aku. Aku mau menunggu
embun datang membasahi tubuhku. Sudah lama sekali aku tak merasakannya”.
“tapi angin malam gak baik buat kesehatan kamu”.
“aku tau, tapi untuk terakhir kali nya rei,,, pliss…”.
“maksud kamu apa? Aku gak mau dengar kalimat itu lagi”.
“gak ada maksud apa-apa,,, kita gak tau takdir kan. Dah ah,, kalo kamu gak mau nemenin aku, gak apa-apa. Aku bisa sendiri”.
“gak mungkin aku gak nemenin kamu embun,, percayalah… aku akan selalu ada untukmu”.
“ gitu dong,, itu baru sahabat aku.” Ucapnya sambil melihat bunga-bunga di sekelilingnya.
“embun…”
“ya,,,”
“kamu suka dengan embun?”
“sangat. Aku sangat menyukainya. Embun itu bening, sangat bening. Dan
bening itu menyimpan sejuta kesucian. Aku ingin seperti embun, bening
dan suci. Menurutmu bagaimana?”
“aku juga mencintai embun. Mencintai embun sejak mengenal embun”.
“rei, kamu tau… aku ingin seperti embun. Embun yang bisa hadir dan
memberi suasana beda di pagi hari. Embun yg selalu di sambut
kedatangannya oleh tumbuhan”.
“kamu sudah menjadi embun yg kamu inginkan.”
“maksudmu?”
“tak ada”.
Aku sengaja merahasiakan perasaanku terhadapnya. Karena aku tau, tak ada
kata “ya” saat aku menyatakan perasaanku nanti. dia tak mau pacaran,
dan dia benci seorang kekasih, ntah apa alasannya.
Jam sudah menunjukkan pukul 5 pagi. Embun pun terlelap kelelahan di sampingku.
“embun,,,, embun,,,,,, bangun embun,, sekarang sudah pagi. Katanya mau
melihat embun, ayo bangun” pujukku,, tapi tak kudengarkan sahutan
darinya.
“ayolah embun, bangun. Jangan terlelap terlalu lama…” aku mulai resah,
apa yg terjadi. Kurasakan dingin tubuhnya, tapi aku menepis fikiran
negatif ku. Mungkin saja dingin ini berasal dari embun pagi.
“embun sayang,, ayo bangun. Jangan buat aku khawatir”. Lagi lagi tak
kudengarkan sahutannya. Tubuhnya pucat, dingin, kaku,,. Aku mencoba
membawanya kerumah sakit dengan usahaku sendiri. Dan,,, “ kami sudah
melakukan semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain. Embun sudah
menghadap sang pencipta” itulah kata-kata dokter yg memeriksa embun yg
membuat aku bagai tersambar petir. Aku lemah, jatuh, dan merasa
bersalah. Kalau tak karena aku yang mengajaknya ke taman, mungkin tak
kan seperti ini. Ya Tuhan, kenapa ini terjadi… aku tak sanggup.
***
Beberapa bulan kemudian….
Aku temui surat berwarna biru dan ada gambar embun di surat itu.
Teruntuk reivan alghibran
Embun…
Titik titik air bening yg jatuh dari langit
Dan membasahi kelopak bunga yg aku sukai.
Aku ingin seperti embun, yg bisa hadir di hati orang
Yg menyayanginya. Tapi aku tak menemui siapa orang itu???
Rei … makasih ya, dalam waktu terakhirku, kamu bisa menjadi embun di
hatiku. Dan tak kan pernah aku lupakan itu. Rei,, maaf kalau sebenarnya
aku suka sama kamu. Aku sengaja tak mengungkapkannya, karena aku tau..
sahabat lebih berharga di banding kekasih.
O ia rei,,, tolong rawat taman kita ya,, aku gak mau dia layu karena tak
ada yg memperhatikannya lagi. Karena taman itu adalah tempat pertemuan
kita pertama dan terakhir kalinya.
sekali lagi,, makasih dah jadi embun selama aku hidup dan tolong,, jadiin aku embun di hatimu ….
salam manis… embun azzula.
“Embun,,,kamu tau, pertama aku kenal kamu, kamu telah menjadi embun
dihidupku, yang menyejukkan hatiku. Dan kamu adalah butiran bening yang
selalu buat aku tersenyum, seperti embun yang selalu buatmu tersenyum.
Taman ini, bukan aku yg akan merawatnya, tapi kita. Dan taman ini tak
akan pernah mati, karena kamu selalu ada di sini, di sini rumah mu.”
Kalimat terakhirku ketika meletakkan setangkai bunga mawar yg aku ambil
dari taman di atas pusaranya. Pusara yg terletak di tengah-tengah taman
embun. Dan kunamai taman itu dengan nama EMBUN. embun.. yang tak kan
pernah mati…
the end